Friday, March 20, 2020

Bahasa Indonesia | Membaca, Topi Miring Sinjo Kemajoran

Satu waktu datang dari Betawi rombongan Tonil Dardanella. Pada salah satu pementasan cerita yang mereka bawakan dan kami tonton berjudul Sinjo Kemajoran. Sinjo ini diumpamakan seorang Indo bernama Leo Ten Brink. Dari awal hingga akhir pementasan, tokoh sentral ini memakai sebuah baret di kepalanya. Karena bentuknya yang bundar pipih miring ke bawah dengan sebuah buntut pendek kecil di tengah-tengahnya, topi ini dianggap umum sebagai pencerminan krisis ekonomi yang sedang berlaku, jadi "topi meleset" dari "zaman meleset". Maka baret ini cepat menjadi topinya anak-anak muda kota ketika itu. Dan kakak-kakakku tak mau ketinggalan membelikan satu untuk aku. Kalau yang ini senang aku memakainya.

"Ah, tak di emaklah topi seperti itu," kata emak mencibir. "Apa-apaan meniru laki-laki Indo Kemajoran seperti itu. Orangnya banyak omong, hilir mudik tak menentu."

"Bukan orangnya Mak yang kami tiru, tapi topinya yang memang kocak." Kak Marni membelia pilihannya. "Kata orang topi seperti ini biasa dipakai oleh laki-laki dan perempuan di Paris. Coba Mak lihat!" Lalu kedua kakakku bergantian memperagakan pemakaian baret. Harus kuakui bahwa mereka kelihatan manis sekali dengan baret miring di atas rambut hitam lebat yang dikepang dua, menggelantung ke bawah mengapit leher yang jenjang. "Nah sekarang giliran emak memakainya," ajak Kak Marni. "Ayolah Mak, mari dicoba. Ecek-eceknya kita berada di kota Paris."

"Mak, ini bukan ecek-ecek lagi," sambung Kak Ani. "Sekarang ini kita sudah berada di Paris. 'Kan Medan sudah disebut-sebut sebagai Parijs van Sumatra. Ayo, Mak, cobalah baret ini."

Emak bangkit dari tempat duduknya dan segera memakai baret di kepalanya. Rambutnya yang juga mengikal mayang dibiarkan tergerai sampai ke pinggangnya. Dia lalu melenggang-lenggok seperti yang tadi diperagakan oleh kedua kakakku. Kami bertepuk tangan kegirangan melihat hal ini. Emak kelihatan tak kalah manis daripada kakak, apalagi kalau dia betul-betul bersolek. Ketika tiba giliranku memakai baret, bapak muncul di ambang pintu.

"Ada apa sorak-sorai gemuruh ini," tanyanya ingin tahu.

"Lihat Pak, si Daoed saya belikan topi baru," kata Kak Marni. "Namanya baret."

"Oh, seperti yang dipakai oleh pemain tonil itu," komentar bapak. "Nanti bolehlah bapak pinjam untuk dipakai ke kandang lembu."

"Ah, sampai hati Bapak bilang begitu," protes Kak Marni seperti merajuk. Padahal dia tahu ucapan bapak tadi hanya untuk main-main saja. "Ini bukan topi sembarangan Pak! Masak mau dipakai ke kandang."

"Sudahlah. Ini bapak ganti uangmu ala kadarnya," kata bapak sambil menyerahkan tiga talen kepada kakak. "Biarkan si Daoed memakai kabaret itu. Pantas dan gagah kelihatannya."

"Anak siapa dulu?" kata emak menggoda bapak.

"Bin Mohammad Joesoef!" Bagai dalam paduan suara kakak-kakak dan aku bersuara serentak.

Bapak tersenyum belaka dan pergi meninggalkan kami. Setelah bapak menghilang, dengan baret tetap bertengger di kepala, aku ajak kedua kakakku berdialog dengan logat Betawi meniru apa yang dipentaskan oleh Tonil Dardanella. Logat ini kedengarannya lucu. Emak bisa tergelak-gelak mendengar ucapan-ucapan ala Betawi kami. Kalau semua orang di Betawi berbicara dengan logat seperti ini pikirku di dalam hati, alangkah kocaknya kehidupan di Ibu Kota Hindia Belanda ini.

Referensi:
Joesoef D. 2010. Emak: Penuntunku dari Kampung Darat sampai Sorbonne. Jakarta, Indonesia: Penerbit Buku Kompas. hal.12-14