Bidang pengetahuan ekologi manusia (human ecology) mengalami perkembangan lebih lanjut dengan menurunkan dua pengetahuan baru, yakni ekologi kebudayaan (cultural ecology) dan ekologi biologis manusia (human biological ecology).
Manusia dan kebudayaan dihadapkan oleh sejumlah permasalahan utama di dalam bidang lingkungan. Permasalahan tersebut dapat diuraikan dengan pengetahuan ekologi kebudayaan sebagai pelengkap bagi antropologi. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijawab oleh ekologi kebudayaan antara lain: Bagaimanakah orang lain menghadapi dan berurusan dengan masalah-masalah dasar seperti halnya yang kita hadapi? Bagaimanakah cara kita memperbaiki keadaan? dan Mampukah ekologi kebudayaan dan antropologi memberikan sumbangan yang berguna bagi masa depan?
Pemahaman dasarnya apabila kita mempelajari ekologi kebudayaan ialah bagaimana kita menentukan pilihan dan tindakan yang perlu (atau tidak perlu). Pemahaman ini memerlukan pengetahuan yang memadai yang harus diperoleh melalui studi terhadap kelompok-kelompok lain, termasuk dokumentasi tentang lingkungan dan adaptasi mereka. Selanjutnya, kita harus pula menelaah segala sesuatu yang telah kita pelajari guna menghasilkan respon-respon alternatif bagi situasi lingkungan. Kita juga harus memahami akibat dari pilihan yang telah kita ambil; kita dapat mengambil pelajaran dari keberhasilan dan kesalahan orang lain sehingga tidak mengalami keadaan yang serupa.
Masyarakat di Barat cenderung menganut pandangan bahwa manusia terpisah dari lingkungan. Filsafat Barat terus mengedepankan pandangan bahwa manusia harus memiliki misi "menaklukkan" alam. Sehingga, banyak orang yang hingga saat ini masih percaya bahwa manusia bukanlah bagian (partisipan) di dalam lingkungan, melainkan sebagai pihak yang harus mengatasi dan memaksa lingkungan sesuai kehendak manusia. Sebaliknya, banyak kelompok masyarakat tradisional (non-Barat, non-industrialis) yang memiliki pandangan yang berbeda dari masyarakat Barat dan kelompok masyarakat tersebut cenderung hidup secara "ekologis" dengan menjaga harmoni dengan lingkungan tempat mereka berada (White & Walker, 1997; Krech, 1999).
Masyarakat tradisional pada umumnya lebih dapat dipercaya untuk merawat sumber daya, bukan karena alasan modern seperti euforia penghijauan atau sejenisnya, melainkan karena keterikatan antara lingkungan dan kepercayaan dan moralitas (Anderson, 1996; Berkes, 1999; Lentz, 2000). Para pakar biologi mulai mempercayai hal ini. Kent Redford, yang memperkenalkan istilah sarkastis (dan rasis) "ecological noble savage" (Redford, 1990; Lopez, 1992), mulai mengubah pandangannya dengan mengambil posisi yang lebih seimbang di dalam menilai kebiasaan ekologis Barat dan kebiasaan ekologis masyarakat tradisional di kawasan lain (Redford & Mansour, 1996; Sponsel, 2001).
Untuk lebih memahami tentang ekologi kebudayaan kita pertama-tama harus mengakui bahwa manusia berikut kebudayaannya merupakan bagian yang terikat dari matriks lingkungan dan tidak dapat dipisahkan dari lingkungan, baik dalam lingkup sebab maupun akibat. Kegiatan manusia mempengaruhi lingkungan, yang pada gilirannya kemudian berbalik, lingkungan akan mempengaruhi kegiatan manusia, begitu seterusnya. Bentuk lingkungan bergantung pada sejarahnya, sebuah sejarah yang melibatkan keberadaan manusia. Namun, perlu juga kita sadari bahwa manusia bukanlah sekedar sata lain yang hidup dan berkembang di bumi. Lebih dari itu, manusia memiliki sifat mawas-diri, kooperatif, teknologis, dan sangat sosial. Gabungan sifat yang unik ini membedakan manusia dari organisme-organisme lain, sehingga membuat interaksi manusia dengan lingkungan menjadi sangat rumit.
Berpedoman pada uraian tersebut di atas maka kita dapat mulai mempelajari apakah yang dimaksud sebagai ekologi kebudayaan. Ekologi merupakan sebuah pengetahuan yang mempelajari interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Ekologi manusia bersifat lebih spesifik; mempelajari hubungan dan interaksi antara manusia, biologinya, kebudayaannya, dan lingkungan fisiknya. Aspek-aspek ini pada era 1950an disederhanakan ke dalam istilah cultural ecology.
Pengetahuan tentang hubungan antara kebudayaan dan lingkungan tidak terbatas pada lingkup akademis; pengetahuan ini sangat penting karena memuat pemahaman-tentang dan kemungkinan solusi terhadap masalah-masalah penting yang dihadapi oleh manusia, terutama di dalam era kekinian. Penebangan hutan (Anderson, 1990), hilangnya spesies (Blaustein & Wake, 1995), kelangkaan pangan (Brown, 1994, 1996), dan terkikisnya tanah (Pimentel et al., 1995) sebelumnya tidak terpikirkan oleh para pakar ekologi mansia.
Para pakar ekologi kebudayaan mencatat pengetahuan tradisional dan tempatan (lokal) yang bernilai bagi dunia yang lebih luas. Ribuan obat-obatan yang bermanfaat yang dikonsumsi oleh masyarakat Barat dalam kenyataannya berasal dari obat-obatan tradisional. Tanaman pangan kuno yang diperkenalkan oleh petani di Andes dan Tibet, seperti kentang dan sereal, kini juga menjadi komoditi penting di dunia. Teknik pengelolaan lahan secara tradisional yang bertahan selama berabad-abad, seperti yang diterapkan di Indonesia dan Guatemala, menjadi sumber inspirasi bagi perubahan di lingkup masyarakat yang lebih luas (global). Akumulasi pengetahuan kebudayaan dari miliaran mansia selama kurun waktu puluhan ribu tahun menjadi sumber daya yang luar biasa bagi dunia yang mengalami keterbatasan sumber daya.
Referensi:
Sutton MQ, Anderson EN. (2020). Introduction to Cultural Ecology. Oxon, United Kingdom: Routledge.