Persatuan Bangsa-Bangsa
Pada bulan April 1945 bertempat di San Francisco, California, Amerika Serikat, utusan dari 51 negara mengadakan pertemuan untuk membentuk sebuah organisasi yang membidangi usaha perdamaian dan keamanan seluruh negara, baik besar maupun kecil. Di antara para utusan, banyak yang mewakili negara yang mengalami secara langsung dua perang skala besar pada abad ke-20, yakni Perang Dunia Pertama (Perang Besar) 1914-1918 dan Perang Dunia Kedua 1938-1945 (Bookmiller, 2008: 9). Organisasi tersebut kemudian dikenal dengan nama United Nations. Di dalam bahasa Indonesia kita menyebutnya sebagai Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
Para utusan negara tersebut kemudian merumuskan sebuah piagam, yang dinamakan United Nations Charter (Piagam PBB), yang berisi pernyataan yang pada intinya usaha untuk mencegah terjadinya kembali peperangan besar yang telah memakan banyak korban jiwa dan menimbulkan kesulitan multidimensi, sebagai berikut:
"WE THE PEOPLES OF THE UNITED NATIONS determined to save succeeding generations from the scourge of war, which twice in our lifetime has brought untold sorrow to mankind..."
Piagam PBB, Pasal 1, tersebut memuat butir-butir tujuan organisasi sebagai berikut: (1) menjaga perdamaian dan keamanan internasional; (2) membangun hubungan persahabatan antarbangsa; (3) mencapai kerjasama internasional di dalam memecahkan masalah-masalah internasional di dalam bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, atau kemanusiaan, dan mengedepankan penghargaan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar untuk semua; dan (4) menjadi pusat harmonisasi tindakan-tindakan bangsa-bangsa di dalam mencapai tujuan-tujuan akhir tersebut di atas.
Butir terakhir (4) tujuan Piagam PBB, Pasal 1, merupakan kunci untuk memahami kegunaan utama dari PBB, yakni sebagai pusat skala internasional untuk membahas permasalahan bersama. Peran ini membedakan PBB dari ratusan organisasi antarpemerintah (intergovernmental organizations, atau IGOs) lain yang saat ini aktif di seluruh dunia.
PBB merupakan satu-satunya organisasi internasional saat ini yang selain membuka keanggotaan internasional, juga dimaksudkan untuk merespon tantangan-tantangan yang dihadapi oleh masyarakat global. PBB menjalankan fungsinya sebagai penghubung kerjasama global.
Tantangan bagi PBB pada abad ke-21
Memasuki abad ke-21 ini PBB menghadapi sejumlah tantangan yang menyebabkan dilema bagi organisasi tersebut. Mingst et al. (....) menyebutkan empat dilema, meliputi benturan antara perlunya tatakelola yang lebih luas dan keterbatasan kapasitas PBB, persaingan antara kedaulatan dan tantangan terhadap kedaulatan tersebut, kebutuhan akan kepemimpinan, dan kebutuhan akan kemenyeluruhan.
PBB menghadapi semakin besarnya tuntutan untuk menjalankan operasi pemeliharaan dan penciptaan perdamaian, menggagas regulasi internasional guna memperlambat degradasi lingkungan dan mengentaskan kemiskinan serta menghapus kesenjangan di dunia, mempromosikan kesejahteraan manusia yang lebih baik dalam bidang ekonomi dan sosial, menanggulangi krisis kemanusiaan akibat bencana alam dan tindak kekerasan, dan melindungi hak asasi manusia untuk kelompok-kelompok yang beraneka ragam. Tuntutan-tuntutan tersebut memerlukan tatakelola global (global governance), bukan pemerintahan global (global government), yakni, tuntutan adanya peraturan, pranata, dan struktur organisasi yang mampu mengelola masalah-masalah lintas-batas dan kesalingbergantungan yang tidak dapat dihadapi sendiri oleh suatu bangsa, seperti terorisme, kejahatan, obat-obatan terlarang, degradasi lingkungan, pandemi, dan pelanggaran hak asasi manusia (Karns et al., 2015).
Piagam PBB menegaskan prinsip-prinsip yang telah sekian lama bertahan tentang kedaulatan negara dan non-intervensi di dalam hubungan dalam negeri negara bersangkutan, namun kedaulatan telah mengalami pengikisan dari berbagai sisi dan mendapatkan tantangan yang semakin berat sehingga negara tersebut tidak mampu menghadapinya sendiri. Secara historis, kedaulatan melimpahkan wewenang kepada masing-masing negara untuk mengelola segala permasalahan di dalam yurisdiksinya sendiri. Non-intervensi merupakan prinsip terkait yang mematuhi negara-negara lain dan organisasi-organisasi internasional tidak dapat campur tangan di dalamnya. Akan tetapi, saat ini merupakan era telekomunikasi global, termasuk Internet dan media sosial. Kesalingbergantungan ekonomi seperti pasar keuangan global, pranata hak asasi internasional, pengawasan internasional terhadap pemilihan (umum), dan regulasi internasional semakin ikut mencampuri kedaulatan suatu negara dan wilayah-wilayah yang secara tradisi termasuk ke dalam yurisdiksi dalam negeri.
Politik dunia pada abad ke-21 pada mulanya ditandai oleh dominasi Amerika Serikat sebagai satu-satunya pihak adikuasa dan difusi kekuasaan di antara negara-negara lain, seperti Uni Eropa, dan berbagai pelaku di luar pemerintah yang memberikan pengaruh melalui berbagai cara. Perkembangan selanjutnya, muncullah sejumah kekuatan baru, seperti Brasil, India, dan Cina. Kepemimpinan di dalam organisasi PBB menghadapi tantangan untuk tidak terpengaruh oleh kekuatan-kekuatan utama tersebut.
Tiga kata pertama dari Piagam PBB adalah "we the Peoples". Dalam Pasal 1, 8, dan 101(3) piagam ini mengakui kehormatan dan harga diri dari seluruh umat manusia. Selama lebih dari tujuh dekade PBB telah berperan sebagai penasihat utama untuk masalah diskriminasi. Terlepas dari kemajuan yang telah diperoleh selama ini, kesenjangan dan pengucilan masih terjadi, dan di banyak kawasan justru semakin bertambah jumlahnya. PBB mulai mengakui bahwa menghargai seluruh umat manusia sebagai panggilan/tuntutan moral (moral imperative) tidaklah cukup. Guna mengantisipasi banyak masalah penting, termasuk kemiskinan, perubahan iklim, resolusi konflik, dan kesehatan global, PBB harus mengurusi masalah kesenjangan dan melibatkan pihak-pihak yang terkucilkan. Perlunya kemenyeluruhan (inclusiveness) memunculkan dilema bagi PBB. Terdapat fokus baru bukan hanya pada advokasi terhadap kelompok-kelompok yang terkucilkan tetapi juga bagaimana cara melibatkan mereka. Di sini, PBB menghadapi tantangan di dalam memerangi prasangka yang telah mengakar, praktek-praktek kebudayaan, dan kesenjangan yang tertanam di dalam sistem politik dan ekonomi suatu negara. Masalah-masalah menyangkut perempuan bersimpangan dengan kemiskinan, perkembangan, pendidikan, kesetaraan politik, migrasi, dan pengungsi. Berkenaan dengan hal ini, kepedulian semakin menguat terhadap peran perempuan sebagai pemangku kepentingan di dalam proses penciptaan perdamaian serta penegakan hak asasi manusia dan pencapaian pembangunan yang berkelanjutan. Pada tahun 2006, Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, menuliskan, "Adalah hal yang mustahil untuk mewujudkan tujuan-tujuan kita jika di dalam proses tersebut kita melakukan diskriminasi terhadap separuh dari ras manusia yang ada" (Annan, 2006: vi).
Kepustakaan:
Bookmiller KN. (2008). The United Nations. New York: Chelsea House Publishers.
Mingst KA, Kams MP, Lyon A. The United Nations in the 21st Century.
Karns MP, Mingst KA, Kendall. W. (2015). International Organizations; The Politics and Processes of Global Governance, 3rd ed. Boulder, Colorado: Lynne Rienner.
Annan K. (2006). "Message from the Secretary-General of the United Nations," In The State of the World's Children 2007: Women and Children. UNICEF.